Sore itu, kita duduk di sebuah rumah tua berdesign
tahun 80-an. Ada bergelas gelas teh, coklat, dan kopi di atas meja yang bundar.
Serta suara tawa yang riuh terdengar sesekali menemani. Seperti biasa, kita
membicarakan hal-hal teramat konyol atau bahkan memalukan, tapi kita tetap
menikmatinya dengan atas nama gurauan.
Namun ada yang berbeda pada sore itu, ketika teman
yang dengan segelas tehnya itu berkata,
“Aku terkadang merasa hidup tidak begitu adil, Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang, membiarkan kita merasa jatuh. Jatuh antara rasa sayang dan sakit. Tapi akhirnya kita jatuh tepat di dasar gelap yang namanya kecewa.”
Tawa kita berubah menjadi hening. Kita membisu.
Dan teman yang dengan gelas kopinya pun ikut berkata,
“Ya… Inilah hidup kita. Tak semudah berjalan dengan yang kita cita-citakan. Bahkan setelah bertemu seseorang, serta menjalin hubungan sampai melewati belembar kalenderpun tak menjamin ia akan selamanya tinggal disisi kita. Dia masih bisa pergi sesuka hatinya, bukan?”
Teman yang bergelaskan teh,
“Ya.. itu dia. Aku telah memberikannya tempat ternyaman disini, tapi dia tetap untuk memilih pergi.”
Teman bergelas coklat,
“Kalian baru merasa jatuh kedalam lubang kecewa itu hanya beberapa centi. Jauh sebelum kalian, akulah yang sudah mencicipi rasanya terlebih dahulu. Bahkan aku belum dapat beranjak dari lubang gelap itu selama hampir 2 tahun.”
Mendengar itu, akupun tak luput untuk tak bertanya
kepada teman yang bergelaskan coklat itu,
“Menurutku itu bukan hal yang sulit, mengapa tak kau coba saja bangkit dari lubang itu? Aku yakin, pasti ada tangan tangan lain yang terulur hangat untuk menarikmu keluar dari sana.”
Teman bergelas coklat tersenyum kepadaku, ia menyesap
sedikit coklat panas yang ada di hadapannya. Setelah itu ia menjawab,
“Ya… memang tak ku pungkiri tangan-tangan hangat itu memang ada. Tapi salahkulah yang tak mau menyambutnya. Bukan aku tak ingin. Aku hanya belum siap untuk memulai lagi. Membangun cerita indah seperti dongeng. Yaaa bisa di bilang, mungkin aku takut nanti jatuh kembali ke lubang ini. Jadi biarlah aku sedikit berlama-lama disini.”
Teman bergelas coklat itupun kembali tersenyum. Namun
dibalik senyumnya, aku tahu ada sesuatu yang mengganjal berat di hatinya.
Teman bergelas teh,
“Tunggu. Kau itu bukannya takut untuk memulainya lagi. Menurutku kau hanya masih berharap bahwa tangan dulu yang telah mendorongmu ke lubang kecewa itu, sewaktu-waktu akan kembali mengulurkan tangannya dan menarikmu keluar, bukan??”teman bergelas teh itu menatap teman yang bergelas coklat dengan tatapan menggoda.
Teman bergelas coklat itu tertawa. Dan kita pun ikut
tertawa. Hanya saja tawa kali ini tidak seperti tawa yang biasanya kita riuhkan
setiap hari. Tawa ini terdengar berat dan sedikit berlapiskan kabut abu-abu.
Teman bergelas coklat,
“Entahlah. Mungkin kau benar. Tanpa kusadari aku memang masih mengharapkannya. Tapi terkadang di sisi lain pikiranku, menyuruhnya untuk beranjak bangkit sendiri, dan harus melupakan rupa tangan yang telah membuatku rapuh. Mungkin ini yang kalian sebut dengan logika.”
Akupun kembali bersuara,
“Sudahlah. Anggap saja Tuhan belum menyempurnakan doa-doa indah kita. Tuhan masih mempersiapkannya secara sempurna untuk kita nikmati nanti. Ia masih ingin melihat usaha keras kita. Bersabarlah teman. Kita sambut saja masa itu nanti bersama.”
Teman bergelas kopi,
“Cerita masa depan?? Hemmmm… yah itu memang selalu menjadi misteri. Siapa teman kita sampai tua, seperti apa kita 10 tahun akan datang, hahhahaha… aku sulit membayangkannya. Tapi aku tahu, ketika masa itu datang, pasti indah.”
Teman bergelas teh,
“Ya… Benar! Tapi, kira-kira siapa ya diantara kita yang lebih dulu menemukan seseorang yang berani mengikatkan janjinya di jari manis kita nanti?”
Teman bergelas coklat,
“Hahahaha…. Entahlah. Ku harap itu aku. Sudah hampir 2 gulungan kalender aku lewati ini sendiri. Jangan sampai aku lupa akan rasa asmara, terasa kaku akan cinta, dan lupa bagaimana paras sang adam.”
Teman bergelas kopi,
“hahahhahaha…. Jangan sampai kau berlari ke arah yang salah. Meski kau masih terperangkap di lubang yang kau pelihara sendiri, kau harus tetap menemukan dan mencari sang adam.”
Kita
kembali tertawa. Tawa kali ini lebih lepas dari tawa yang sebelumnya. Tawa ini
lebih seperti tawa yang biasanya kita riuhkan setiap hari. Syukurlah kita masih
bisa seperti ini.
Teh, akan
menghangatkanmu meski dengan rasa yang sedikit kelat namun tetap menghadirkan
ras manis.
Coklat, hangat
yang manis melebur di indra pengecapmu dan kau akan tenang.
Kopi, kopi
itu memang pahit. Tapi setelah pahit itu kau sesap sampai akhir, kau menemukan
sesuatu yang mebuatmu kembali semangat tiap paginya.
--FIN—
@mindcafe, 5
orang gila yang berbicara masa depan.
Aku, wilda,
dina, ferina, nita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar