Read, Enjoy and Comment...

Read, Enjoy and Comment...

Senin, 13 Oktober 2014

Ini Ocankuuu....

aku kali ini enggak mau ngepost soal curhatan curhatan temenn, ataupun cerpen-cerpen, puisi-puisi yang fenomenal seperti biasanya... (fenomenal mbahmu...!!!)

aku kali ini mau ngepost tentaaaaaaaang.........
sayangnyaaaa akuuuuuuuu x)))



ini poto ocan waktu umur 2 bulan

lucu kaaaaaaaan???
apa sih ituuuu??
perlu diinget yaaa....
ini tuh lebih lucu dari boneka, gantungan kunci dari timezone, bahkan ini kalah lucu dari gebetan akuuuuuu!!!! 
(....oke ini lebay!!!)

ini dia anggota keluarga ku yang baru.
musang pandan yang aku beri nama ocan...
ocan ini mulai aku pelihara sejak bulan februari lalu.
waktu itu ocan umurnya kira kira masih sebulan atau dua bulan gitu deh.
dari awal kita ketemu, kita itu udah deket... kita berdua itu udah ngerasa kayak ada chemistry gitu deh... sangking deketnya, dia hampir enggak pernah mau aku tinggal dikitpun...!!!

tiap aku pulang kuliah, bahkan aku masih buka pintu rumah, pasti ocan bakal langsung besuara manggilin aku, supaya aku nyamperin dia dan ngajakin dia main sebentar.
pokoknya lucu dan gemesin deh!!!!




ini poto ocan sekarang.... ^_^

dan pada tau gak tenyata musang itu memiliki fakta yang unik loo
ternyata musang itu bisa membaca pikiran manusia, baik melalui sentuhan ataupun hanya sekedar menatap matanya.
percaya, enggak percaya???

jadi gini,
aku pernah baca suatu artikel. (coba search google deh)
kalo ternyata musang itu, bisa ngebaca pikiran manusia yang berada di dekatnya.
jadi... musang itu bisa tahu apakah manusia yang akan memegangnya itu takut, atau enggak.
apakah orang itu baik atau enggak.
kalo ternyata owner/calon owner dinilainya memang baik, dia bakalan cepat jinak dan cepat deket sama kita.
tapi malah sebaliknya jika dia tau owner/calon ownernya itu sendiri takut untuk berinteraksi dengan dia, dia akan terus agresif dan rada susah untuk menjadi jinak.

jadi tipsnya, kalo mau melihara musang itu,
"jangan pernah menganggap musang itu sebagai hewan peliharaan, tapi anggaplah ia sebagai patner hidup atau bahkan bagian dari anggota keluarga anda. dan komitlah pada diri anda sendiri untuk benar-benar merawat dengan baik dan telaten patner kita itu. karena memelihara musang itu bukan hanya untuk sekedar lucu-lucuan aja"

dan kalian tau gak?? merawat musang itu enggak susah kok. hampir mirip-mirip ngerawat kucing.
merawat musang itu,,,

pertama sediakan kandangnya
dan jangan lupa untuk membersihkan kandanggnya minimal 2 hari sekali. atau kalo kalian rajin setiap hari malah lebih bagus.
biar kesehatan musangnya lebih terjaga.

kedua, mandikan musang minimal seminggu sekali. sebaiknya itu mandiin-nya diwaktu pagi sekitar jam jam 8 atau 9 gitu.
bisa pake shampo khusus kucing, ataupun shampo khusus bayi.
setelah dimandiin, jangan lupa untuk menjemur musang, biar musang juga dapet asupan vitamin D dari matahari pagi. jangan lama-lama...secukupnya aja, ntar kalo lama lama musangnya bisa dehidrasi.
oyaaa... jangan lupa juga untuk sesekali memotong kukunya.
dan sebagian orang terkadang ada juga yang menyikat gigi musang, agar giginya putih kayak senyum pepsodent :)))

ketiga, untuk makanannya...
gampang kok... kalo umurnya masih bayi umur 2bulanan bisa dikasi buah-buahan kayak pisang atau pepaya.
tapi klo udah rada gedek-an dikit,
bisa dikasih nasi yang dicampurin susu kental manis, dan juga bubur bayi (bubur sun) yang udah ditambahin air dikit.
kasih makannya cukup sehari 2 kali aja kok.
atau untuk selingan, bisa juga musangnya tetep dikasih buah-buahan, biar pencernaannya tetap terjaga. dan musangnya sehat deh.
oia jangan lupa juga sedian air minum ynag bersih dan sehat untuk minumannya....

keempat, jangan lupa untuk sering sering ngajak musangnya main-main.
jangan dibiarin di dalem kandang terus...
kasian doooong... ntar musangnya bisa stress loooh.
ajakin jalan-jalan, lari-larian, kejar-kejaran, sesekali dihalaman rumah juga bisa kok.
pokoknya sebisa mungkin bikin musangnya happy deh...
malah terkadang...
ocan aja sering aku ajakin curhat :')
(kok agak miris yaaa kayaknya -____- )


yaaaaak.... itulah tadi postinganku seputar ocan kesayangannya akuuuu....
hahahahha x))) semoga membantu kalian kalian yang pengen melihara musang....

kalo ada yang kurang dari tips-tips diatas,
mohon maaf dan silahkan comment yaaaa....






salam kecup mesra
dari ocan .....
:* :*

Minggu, 12 Oktober 2014

he’s not perfect like you think before…


   Tasya, cewek cantik namun minderan sudah lama naksir seorang cowok bernama Romi teman sekelasnya semasa SMA. Tasya sudah berobsesi lama kepengen banget jadi pacarnya Romi semenjak mereka sama sama duduk di bangku kelas 2 SMA. Namun tasya tidak pernah pede untuk berbicara dan menyapa Romi secara langsung. Dia hanya terus menerus mengagumi sosok Romi diam diam. Romi sendiri memang tipe cowok cool nan kece yang gampang banget ditaksir oleh cewek-cewek pada umumnya. Harga jual Romi itu adalah senyumnya yang mempesona. Hanya dengan sebuah senyuman dari seorang Romi, seluruh cewek pasti bakalan klepek-klepek dibuatnya. Terlebih lagi Tasya, baginya Romi adalah cowok sempurna yang pernah ada. Justin timberlake, Orlando Bloom, Tom Cruise bagi Tasya mereka itu belum ada apa apanya di bandingkan Romi (oke… ini sedikit lebay). Siapapun yang berhasil menjadi pacarnya Romi dia adalah cewek yang paling beruntung didunia. Bahkan Tasya pernah berikrar bahwa dia tidak mau apa-apa lagi di dunia ini selain Romi (…..@x!$cg%&gRt). 


   Dan kali ini nasib sedikit berpihak kepada Tasya. Setelah setahun menaksir Romi diam-diam, kali ini Tasya mendapat kesempatan untuk dekat dengan Romi. Entah bagaimana awalnya, kini Romi sering sekali menyapa Tasya. Tentu saja kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja oleh Tasya. Hampir setiap hari, Tasya selalu mencari cara agar bias selalu berkomunikasi dengan Romi, baik hanya sekedar menanyakan catatan, PR, apasajalah yang bias jadi bahan pembicaraannya dengan Romi. Dan perlahan-lahan tasya pun tidak minder lagi untuk menyapa Romi. Sebulan, dua bulan berlalu hubungn mereka kian hari kian akrab. Hingga pada akhirnya Romi tiba-tiba dengan santainya mengajak Tasya untuk berpacaran ketika mereka sedang mengerjakan tugas kelompok di perpustakaan. Sungguh jauh dari pemikiran Tasya, bahwa Romi mengajaknya berpacaran semudah itu, seperti layaknya membeli kacang goreng. Jauh dipemikiran Tasya bahwa Romi akan membawakannya seikat bunga mawar merah, dan berlutut menembaknya untuk menjadi pacarnya. Bahkan Tasya tidak percaya bahwa saat ini Romi benar-benar mengajaknya berpacaran. Tasya menduga Romi pasti hanyalah bergurau.


   Setelah kejadian Romi menembak Tasya di perpus, dan Tasya mengira Romi hanya bercanda. Secara perlahan-lahan Romi kini menjauh dari Tasya. Entah karena merasa bahwa dirinya udah di tolak Tasya kemarin, atau memang karena Romi lagi PDKT sama cewek lain. Ya memang Romi sekarang sedang dikabarkan bahwa sedag berusaha PDKT dengan Cyntia anak kelas sebelah. Menyadari hal ini, Tasya merasa kesel dan menyesal minta ampun. Dia merasa sangat bodoh dan terlalu naif tentang peristiwa yang terjadi diperpus itu. Dan terlebih lagi, Tasya mendengar bahwa Romi sedang mendekati Cyntia. Timbul rasa amarah dan sesal muncul dari dalam diri Tasya. Benar saja, beberapa minggu kemudian, Romi telah dikabarkan berpacaran dengan Cyntia. Kembali lagi lah Tasya yang hanya bisa menahan cemburu dan kembali memendam rasa sukanya kepada Romi sampai akhirnya Tasya lulus di bangu SMA. 4 tahun setelah lulus SMA, Tasya kini sangat bersyukur bahwa perjalanan karir dan studinya cukup baik setelah ia lulus SMA, meskipun perjalanan cintanya tak semulus karir dan pendidikannya. Tasya sekarang sedang menyelesaikan studi akhir S1 nya. Dan ia kini juga telah bekerja di salah satu bank swasta sebagai teller, yang dapat membiayai biaya studi S1nya sendiri selama ini. Selama 4 tahun ini pula Tasya tak pernah lagi bertemu dengan Romi. Cowok yang begitu ia puja semasa SMA. Meskipun tak pernah bertemu, tapi Tasya selalu tahu kabar apa saja tentang Romi. Dan satu-satunya kabar yang paling membuatnya ia kecewa, bahwa Romi sampai sekarang, masih berpacaran dengan Cyntia. Dalam hati Tasya sering bergumam, seandainya ia tak menganggap remeh penyataan Romi untuk meminta Tasya menjad pacarnya, mungkin sampai saat ini bukan Cyntia yang ada disamping Romi. Melainkan dirinya. Rasa sesal kembali muncul setiap Tasya mendengar nama Romi. Bagaima tidak, Romi yang begitu selalu ia puja dan ia khayalkan setiap hari hingga sekarang.


   Pada suatu saat, SMA Tasya mengadakan acara reunion. Ini berarti merupakan salah satu kesempatan bagi Tasya untuk bertemu lagi dengan Romi. Seperti apa Romi sekarang?? Berjuta khayalan menghinggap di benak Tasya. Pasti Romi sekarang terlihat lebih keren dan semakin dewasa pikirnya. Tak sabar rasanya Tasya ingin bertemu dengan Romi segera. Acara reunian itu pun datang. Tasya dengan tidak sabar ingin melihat Romi. Begitu tiba di tempat acara, Tasya memandang di tiap-tiap sudut mecari sosok Romi. Hingga tatapan Tasya berhenti ke salah satu sudut ruangan. Tasya melihat seorang laki-laki yang berdiri memukau dirinya seperti biasa. Memakai jins biru dongker dan kemeja. Sosok itu yang selalu ia puja. Sosok yang begitu sempurna dimatanya. Ya itu adalah Romi. Tak ada yang berubah dari Romi. Dia masih terlihat keren dan sangat kece. Dan senyumannya juga tidak berubah. Senyuman yang selalu membuat Tasya ingin pingsan melihatnya. Romi melihat Tasya, dan tersenyum. Tasya membalasnya dengan perasaan yang begitu berbunga-bunga. Tasya lalu turut bergabung dengan teman teman dekatnya semasa SMA dulu. Bercerita tentang apa saja yang telah mereka lalui setelah tamat SMa. Ada yang berhasil masuk PTN impian, ada yang telah bekerja, dan bahkan ada yang membuka bisnis sendiri. Bahkan Tasya sendiri tidak percaya teman-temannya kini bisa sesukses ini sekarang. Tasya turut bangga akan dirinya sendiri di depan teman-temannya karena ia telah berhasil membiayai kuliah S1 nya sendiri, dari hasil keringatnya sendiri. Reuni memang selalu menyenangkan, pikirnya. Romi menghampiri Tasya. Tasya menyapanya dengan menanyakan kabar. Dan mereka pun kini berbincang-bincang. Tasya menanyakan apa saja kegiatan Romi setelah mereka lulus SMA. Romi bercerita, bahwa kini dia tidak sedang melakukan kegiatan apa-apa. Dulu setahun setelah tamat SMA, Romi sempat berkuliah, namun kuliahnya putus begitu saja di semester 3 dikarenakan Romi jarang sekali masuk kelas karena sulitnya untuk bangun pagi. Dan sampai kini Romi ternyata tidak bekerja. Romi bercerita hidupnya masih seperti dulu, yang masing sering nongkrong disana sini. Tasya sempat bertanya, mengapa kalau tidak berkuliah, Romi tidak bekerja saja. Romi berkata, hal itu untuk saat ini ia rasa belum perlu. Romi masih merasakan hidupnya yang enak dan bergelimang harta, tanpa harus bersusah kesana kemari mencari nafkah. Entah kenapa Tasya mendengarnya menjadi sedih.


   Ternyata Romi bukanlah sesempurna sosok yang ia bayangkan sebelumnya. Romi yang sekarang entah kenapa menjadi terlihat sangat biasa di mata Tasya. Ternyata Romi tak sespesial yang dulu pernah ia bayangkan. Lantas Tasya kembali berfikir dan menanyakan suatu hal kedalam hatinya. Apa yang dulu ia kagumi dari sosok Romi? Ternyata tidak ada sama sekali. Romi hanyalah seorang anak laki-laki pengangguran gak jelas, yang kebetulan punya tampang cakep, dan senyuman yang menawan serta bapaknya yang kaya raya. Romi benar-benar biasa. Sangat biasa. Tidak sesempurna yang Tasya pikirkan sebelumnya. Malah Tasya kini merasa kasihan terhadap Romi, disaat teman-teman yang lain telah siap menyongsong kesuksesan masa depan, tapi Romi malah masih terlena akan berlimpahnya harta orang tua. Tasya merasa hidupnya lebih baik ketimbang Romi, meskipun ia harus berjuang mati-matian demi membiayai kuliah S1 nya. Tapi ini menjadi suatu kebanggan bagi Tasya. Dan Tasya akhirnya juga sadar, bahwa yang ia rasakan terhadap Romi dahulu, ternyata hanyalah sebatas obesesi. Obsesi karena saat di bangku SMA, Romi lah satu-satunya laki-laki yang mejadi pusat perhatian seluruh cewek di sekolahnya. Dan hal ini pula yang memacu dirinya untuk ikut-ikutan melirik sosok Romi saat itu. Dan kini, Tasya hanya bisa tersenyum-senyum geli, ketika ia mengingat bagaimana konyol nya ia dahulu, begitu memuja Romi dan mengejar Romi mati-matian di masa SMA.

***** 



Nah seperti cerita diatas, tak jarang kita melihat fenomena cewek naksir cowok mati-matian. 
Berkata bahwa cowok itu adalah sosok paling sempurna yang ada dunia.

Si A itu cocoknya sama aku.
Duuuuhhh… beruntung banget si B bisa pacaran sama si A.
Cuma si A yang bisa buat aku bahagia di dunia ini.


Plisss deh… not body’s perfect!!
Jujur gue kadang heran, dengan orang yang cinta mati-matian terhadap pasangannya, bahkan melebihi cintanya kepada orang tuanya sendiri.

Contoh nih,
lo mau pergi nonton bareng temen, lo pamit sama nyokap lo. Dan nyokap lo ngijinin. Dan lo juga pamitan sama pacar lo, eh tapi pacar lo enggak ngijinin. Elo nurut, dan akhirnya elo batal pergi nonton.

terus suatu hari elo mau pergi bareng pacar lo liburan keluar kota beberapa hari. Elo minta ijin ke nyokap bokap lo. Eh tapi nyokap bokap lo enggak ngijinin. Elo ngambek, pake ngancem-ngancem klo enggak diijinin elo bakalan kabur dari rumah.

Pasti sering nih kejadian yang begini, giliran pacar yang ngelarang nurut, giliran orang tua yang ngelarang pasti berontak. Pacarlu itu, juga manusia biasa kaliiii. Masa iya elu lebih nurut sama pacar elu ketimbang orang tua lu sendiri yang udah ngelahirin elu?


So, the point is…
Cintailah seseorang itu seadanya. Jangan terlalu berlebihan.
Cinta yang berlebihan itu enggak sehat banget….!!

Mereka juga manusia kok. Manusia biasa. Bisa napas, bisa kentut, bisa boker juga.

Meskipun beberapa pepatah mengatakan, bahwa “cinta itu buta”…
Tapi menurut gue, cintalah yang telah membutakan kita.
Jangan pernah terlalu mengharapkan seseorang yang telalu berlebihan.

He’s not perfect like you think before…..!!!
Selidiki latar belakangnya, wataknya, dan sifat sifatnya.
Tampang dan harta tak selalu menjadi jaminan.
Memiliki kemauan bekerja keras, dan rasa tanggung jawab yang besar itu lebih baik nantinya.
Karena sesungguhnya inner beauty itu lebih penting daripada kecantikan rupa..

^_^




mohon maaf klo ada yang kurang berkenan...
ini cuma tanggepan gue dari curhatan seorang temen kok
:))

Sabtu, 27 September 2014

Aku, kau, dan kisah konyol di bandara.


Juli, 2011 . . .
Ada satu tanggal yang aku lingkari dengan spidol merah. Tepat di angka 27. Tanggal yang membuat aku menduga-duga penuh  harap. Tanggal yang aku hiasi dengan berbagai untaian kata. Tanggal dari segala penjawab doa. Tanggal yang untukmu tentunya orang yang paling aku nantikan kedatangannya. Kedatangan bintang paling terang yang pernah ada.

Masih jelas ku ingat, hari itu, ada sesuatu yang membuatku seakan ingin terbang lagi. Sesuatu yang membangkitkan rasa bahagia yang telah hampir mati. Sesuatu yang sedikit jelas membuat aku ingin tampil menjadi cantik kembali. Sesuatu yang membuat penantian terlihat jelas setelah 5 bulan yang tenggelam oleh rindu yang sudah mulai penuh debu.

(Ditelfon)
Aku        : yaa…hallo
Dia        : Haii… Udah lama nggak kita nggak ngobrol
Aku        : iya. Ehh udah liburkan ? nggak pulang ?
Dia        : kayaknya nggak. Kenapa ?
Aku       : yaaah… serius ?
Dia       : kenapa sedih yaaa??
Aku       : haa? Nggak, siapa yg sedih.
Dia       : hahahhaha Iya aku pulang tanggal 27. kamu yang jemput yaa.
Aku       : haa? Aku yang jemput ?? naik apa ?? (aku panik, karna saat itu aku sama sekali gak
   punya kendaraan, selain motor butut yang plat nya udah mati setahun)
Dia       : yaaa naik angkotlah, emang di sana uda nggak ada angkot sekarang yaa?
Aku       : ada sih, tapi gak apa itu aku jemput naik angkot. Yodah jam berapa itu nyampek disininya?
Dia       : ya gak apalah. Malah romantis kita naik angkot bareng bareng. Hahhaha 
(dia membuat wajahku seperti tomat)
               kira-kira aku nyampek disana jam 12. Tapi jangan bilang ke siapa siapa aku mau pulang
               ya !!! sama temen temen ku, termasuk juga adek ku. Bilang aja aku enggak jadi
   pulang, aku pendakian ke rinjani. Aku mau bikin surprise ke mereka.
Aku      : oh iya iya oke oke. Yodah berarti cuma aku aja nih yang tau kamu mau pulang.
Dia      : iya cuma kamu aja, yodah inget yaa ini rahasia. Yaudah nanti aku kabari lagi. Daaah

Senyap kembali terdengar. Aku terdiam sejenak. Senyumku kembali terkembang. Aku menarik nafas dan kau membuat sejuta khayalan mulai muncul dibenak ku. Kau memimpin ku lagi untuk merangkum sejuta mimpi indah. Dan bahkan kau membuatku gelisah hingga sulit memejamkan mata. Aku merasakan hawa malam mulai menggodaku malu. Di sela sela selimut senyumku masih terkembang, rasanya enggan untuk pergi. “ingat, hanya kamu yang tau aku akan pulang” kata-katamu ini sekejap membiusku untuk merubahku menjadi pembohong didepan mereka, temanku dan temanmu.

Dikampus, tanya seorang teman…
Teman    : aku dengar kabar kurang baik, atau kamu udah denger kabarnya? Apa itu benar?
Aku        : iya, aku udah tau. Iya dia enggak pulang. dia pergi ke rinjani (wajahku datar)
Teman   : jadi itu benar? ya udahlah, kan udah aku bilang, lupakan saja, gak usah di
  tunggu –tunggu kepastiannya, kalian tetap terpisah jarak. Bersabarlah. Tuhan pasti
  mengirimkanmu sosok yang jauh lebih baik. Jangan sedih yaaa.

Tangannya menyentuh pundakku lembut, memberikan sentuhan hangat yang tenang agar aku tidak tenggelam dalam jurang duri. Tapi dalam hati aku berdusta kepadanya, dalam hati aku sumringah, aku tertawa geli, aku merasa aku telah berhasil membuatnya percaya bahwa kau memang tidak akan datang lagi padaku. Aku merasa akulah aktris terhebat dibumi saat ini. Dan lagi lagi ku lakukan hanya karna mu….

Detik waktu tak mau menunggu, ia terus memburuku perlahan. Semakin lama detik itu maju menjadi hari. Hingga tiba pada hari aku merasa mulai kacau. Perlahan aku menjadi ragu, takut, resah menjadi satu. Aku takut kau yang berdusta, sementara hatiku telah menaruh banyak harap dan impian, serta tanganku sudah tak sabar ingin mendekap hangat tubuhmu kembali.

(Di Twitter)
@Rendi: @bintang eh, kapan pulang ? aku denger hari  rabu ini  pulang yaa? Udah kangen aku pengen berantem samamu. Hahhaha
@bintang: @Rendi sori, aku nggak jadi pulang. Aku ada pendakian ke rinjani. Jadi ongkos pulangnya udah aku pake buat pendakian. Mungkin lain kali hehehehe

Aku kembali sulit terpejam. Berjuta tanya hinggap di pikiranku. Benar kau akan kembali? Benarkah hanya aku yang akan menyambut hangat senyummu ketika kembali? Atau ini hanya gurauan untuk menghibur hatimu? Ahh tidak, aku tau kau tidak mungkin sekejam itu.
Sampai pada akhirnya otakku beradu dengan sendirinya. Telfon atau enggak ??
Hingga aku memutuskan untuk ….

(di telfon)
Aku        : hallo, kamu belum tidur ??
Dia        : belum, lagi main game. Ada apa ?
Aku        : nggak apa apa. Main game apa? (basa basi)
Dia        : ntah nih, game apaan aku gak tau. Oiya jangan lupa hari rabu jemput aku jam 12
    dibandara. Masi ingat kan? (yes !!! kau memulai topiknya duluan)
Aku       : iya iya aku inget. Rupanya mereka memang beneran nggak ada yang tau ya kalo   
   kamu mau pulang.
Dia       : iya memang nggak ada yang tau lah. Kan aku udah bilang cuma kamu yang tau.
Aku       : mmm.. tapi kamu memang beneran pulang kan??
Dia       : iyalah aku pulang. Kenapa? nggak percaya? Takut aku bohong?
    Hahhahha
Aku       : Nah itu ngerti. Ya iyalah, aku takut ntar aku ke bandara nungguin kamu sia-sia belaka,
                Kamu emang nggak pulang. Itu ternyata cuma gurauan.
Dia       : enggak, aku beneran pulang kok. Udah pokoknya jemput aja hari rabu di bandara jam 12.

Ku tutup telepon dengan menghela nafas. Aku diam sejenak. Ku pandangi layar ponsel seakan aku dapat menembus melihat wajahmu disana dari tempatku kini. Kata katamu sedikit membuatku tenang. Hingga akhirnya aku putuskan alunan suaramu yang masih kusimpan ku jadikan penghantar tidur indah untuk malam ini.



26 juli malam…
Malam ini. Jantungku rasanya ingin melepaskan diri dari penjara rusuknya. Rasanya ia ingin berlari mengitari kamarku. Puluhan kali aku menghela nafas mencoba untuk tenang. Besok hari yang paling aku nantikan. Hari disaat jarak tak lagi jadi penghalang kita. Hari disaat aku dapat merasakan hangat pelukmu setelah penantian berbulan-bulan. Seharusnya aku senang bukan? Tapi entah mengapa segenap ragu menghampiri ku. Aku masih takut kau tidak datang. Aku masih takut bila ternyata aku memang sedang kau hempaskan perlahan.
Berkali-kali aku melirik layar hitam ponsel yang tergeletak diatas meja kecil samping tempat tidurku. Sepeka mungkin aku membuka indra pendengarku untuk menangkap bunyi nada dari benda itu. Berharap kau dari sana memanggilku dengan lembut. Tapi ternyata masih nihil.
Cemasku belum hilang, sementara aku masih takut untuk menghampiri suaramu terlebih dahulu.
Entah dari mana gelojak ini datang, tanpa komando aku mulai membuka lemari, melihat beberapa potongan pakaian, lalu berfikir baju apa yang akan aku kenakan esok ?? dalam hati aku beseru, “bahwa aku harus tampil sangat cantik esok hari”.

26 juli, 8.00 malam
(ditelpon)
Dia         : hallo, kamu dimana?
Aku        : dirumah nih, dikamar.
Dia         : ooh bagus deh. Kirain lagi diluar. Oiya, aku lagi di lombok nih. Aku sebenernya emang
  nggak pulang. Aku memang ikut pendakian yang ke rinjani itu. Hehehehe maap ya..
(begitu mendengar ini, rasanya aku ingin mengutuki diriku sendiri. Darah seperti memuncar dari jantung. Dan aku hanya bisa menjawab “ooh”)
Aku        : oohh
Dia         : kamu nggak marah kan?
Aku        : nggak (datar)
Dia         : kamu nggak nangis kan?
Aku        : nggak !!!! (tegas. Hatiku mendadak menciut!!!! )
Dia         : oooh yaudah bagus deh kalau gitu. Yodah aku cuma mau bilang itu aja. Yaudah kamu
    tidurnya jagan malem malem yaa. Daah…

mulutku terkatup tanpa suara. Telepon pun terputus. Pandanganku seaakan gelap. Rasanya seperti akan ada lubang gelap yang akan siap menjeratku. Ku pandangi datar layar ponsel itu lagi. Tanpa aba-aba tanganku bergerak lincah melihat daftar panggilan masuk. Dengan harap aku memastikan suara yang baru saja aku dengar bukanlah darimu. Tapi ternyata aku harus harus lagi mengubur rasa harapku. Nama dan nomernya tepampang jelas dengan lantang seolah-olah menengaskan, “yaaah memang akulah yang kau dengar. Aku yang menyuruhmu bermain dengan jarak dan waktu”.

Aku bergerak ke arah kaca, ku pandangi diriku yang terlihat bodoh. Aku merasa kasihan kepada apa yang kulihat dalam bayangan kaca itu. Mataku masih sendu, airmata belum mengalir, entahlah bukannya aku tidak sedih, aku amat sedih, tapi aku tidak bisa dengan mudah menangis. Melalui kaca kupandangi tiap refleksi yang tertangkap disitu, ku lihat ada beberapa potong baju terletak di atas tempat tidur. Melihatnya, seakan potongan baju itu, sedang menggodaku, “kita tidak jadi bertemu dengannya besok, simpanlah lagi aku di dalam lemarimu, berikut serta dengan seluruh harapanmu untuk memeluknya hahhahahhahahhaha”

Aku tersenyum lirih, melihat apa yang telah aku lukiskan di dalam kepalaku beberapa hari ini. Aku tersenyum lirih menahan sakit, akibat terhempas pelan ke tanah ini. Aku kembali ke tempat tidur, aku hempaskan kuat, berharap ketika aku hempaskan aku akan merasakan sakit, hingga aku dapat menangis.
Aku berbaring bersama pakaian pakaian yang sedang tersenyum geli menggodaku. “Terserah kalian mau mengasihiku atau merutuki, aku memang bodoh”
Pikiranku menerawang, tapi aku tak tahu pasti apa yang ku pikirkan. Mendadak hampa. Mendadak kosong. Yang ada hanya aku amat sangat kasihan terhadap diriku sendiri. Mataku juga masih enggan terpejam. Ku tatapi langit langit kamar, berusaha dan berharap aku dapat menemukan sesuatu yang dapat menenangkanku disitu. Atau mungkin aku berharap kau tiba tiba jatuh dari atas sana terhempas kedalam pelukku.


27 Juli, 2.00 dini hari
Incomming call …..
Aku        : hallo….
Dia         : hallo, kamu belum tidur??
Aku        : belum. Nggak ngantuk.
Dia         : enggak ngantuk apa memang enggak bisa tidur ?? hahhahhahah
Aku        : memang belom ngantuk!! (tegasku)
Dia         : yaudahlah, aku cuma mau ngingetin jangan lupa jemput aku di bandara jam 12.
                 Awas kalau kamu nggak ada.
(mendadak emosiku meluap mendengar ini)
AKu        : kamu sebenernya beneran pulang apa nggak sih?!!! jangan buat menyumpahi diriku
  sendiri dengan bodoh !!!
Dia         : hahahhahhahhahhahha. Iya iya aku beneran pulang. Udah pokoknya besok jemput aja                       aku di Bandara  jam 12 siang. Okee. Yaudah tidur sana. Daaaah…


Belom sempat aku melanjutkan kata, kau memutuskan telepon secara sepihak.
Jangan bilang aku telah tenang. Justru aku semakin gusar. Aku semakin bingung. Tapi disela-sela bingung itu aku sempat menyelipkan senyum haru. Dan harapku kembali muncul. Takut demi takut, sedikit demi sedikit aku bangun lagi apa yang akan aku dapati besok di dalam otak ku. Ku kutip lagi yang tadi telah aku hempaskan jatuh. Dan lucunya, sambil membangun kembali harap untuk bertemu denganmu esok, air mataku malah jatuh.

Sesegukan kecil malah hadir, semakin lama aku makin tersadar, aku krisis ekspresi. Tak semestinya aku menangis. Harusnya aku senang sekarang karna kau memang pulang besok. Harusnya aku senang esok kita bisa saling menatap nyata, tak lagi dalam bayang. Mataku perlahan berhenti mengalirkan air itu. Tapi ia masih juga belum lelah untuk terpejam. Hingga mentari menyapa, aku bingung harus seperti apa menyambut matahari ini? Pikiranku masih bimbang antara benar ke bandara atau tidak?



27 juli, 9.00 pagi
Aku telusuri trotoar jalan dengan pelan menuju kampus. Aku lirik arlojiku, pukul 9, terbesit dalam hati 3 jam lagi aku akan bertemu denganmu. Beberapa jam lagi. Aku menoleh kebelakang tepat disebrang sana, bandara yang telah menanti peraduan kita berdua hari ini. Langkahku semakin bimbang, jalanan menuju bandara ini mungkin sedang aku punggungi karna letak kampus dan bandara hanya bersebrangan terpisah oleh lampu yang sedang menyala merah itu. Dan kembali aku melirik arloji, semakin lama ku perhatikan detik jam itu berputar, kepalaku semakin tidak karuan. Muncul berbagai pertanyaan yang aku tak tau kepada siapa aku dapat menemukan jawabannya. Mungkinkah aku nanti akan melangkah kesana ? Nantilah sebaiknya aku menuntaskan tugasku sebagai mahasiswa sampai pukul setengah 12 nanti.

Aku sampai di ruangan yang tak cukup besar dan tak cukup kecil. Berderet barisan bangku-bangku kayu memenuhi ruangan itu. Senyap dan tenang. Hanya suara dari dosen yang terdengar. Dan suara itu tak sepenuhnya tersimpan di otak ku. Hanya sesekali terdengar. Aku sendiri lebih memilih asik berkutat dengan ponsel secara sembunyi sembunyi daripada mendengarkan dosen yang menyampaikan materi. Aku menelusuri satu persatu halaman web yang dapat memberitahuku jadwal penerbangan hari ini. Tapi tetap nihil, sinyal sepertinya sedang ikut mempermainkan rasa penasaranku. Aku masih berpusat kepada layar kecil itu dengan penuh harap. Sampai sebuah tepukan mendarat di bahu, yang berhasil membuat aku tersentak kaget.

“ngapain aja sih? Di liatin dosen tuh daritadi.” suara itu terdengar dari arah bangku belakang.
Aku tidak menjawab, aku hanya menoleh sedikit ke belakang dengan mulut tetap terkatup. Aku menunduk sebentar. Aku simpan ponselku. Mungkin kamu butuh saran, ceritakanlah. Satu orang yang tahu itu bukan masalah yang besar bukan? Aku mendengar bahwa otak ku bergumam dengan sendirinya.
aku ambil secarik kertas, dan mulai menuliskan sesuatu…

aku butuh saran. Aku bakal cerita tapi cukup kamu aja yang tau. Bisa?

Aku mengarahkan kertas itu ke arah belakang. 5 menit kemudian, kertas kecil itu kembali.
                             
Iya, ada apa? Ceritakanlah

Aku menulisnya lagi,
Sebenernya bintang pulang, hari ini. Jam 12 siang nanti. Dia bilang, hanya aku yang boleh tahu. Maaf aku sempat bohong. Aku disuruhnya menjemput. Tapi sekarang aku ragu, aku takut, aku takut ternyata dia memang  bohong. Karena dia tadi malem, bilang gak jadi pulang, tapi beberapa jam kemudian dia ngomong lagi, kalau memang pulang. Aku bingung. Menurutmu, aku tetap ke bandara siang nanti?
Aku arahkan lagi kertas itu kebelakang.

Hahahhaha, pantes mukamu, kusut gitu. Serius bintang beneran pulang? Yaudah dateng aja. Aku yakin dia gak mungkin seiseng itu. Aku yakin dia emang beneran pulang.

Kalau gitu, kamu temenin aku ke bandara ya??

Aduuuh, aku gak bisa kalau nemenin. Aku ada janji sama temen. Aku anterin aja yaaa. Lagian dianya kan nyuruh kamu jemput sendirian.

Setelah berjam-jam lebih aku berperang sendiri dengan otakku. Akhirnya aku yakin untuk tetap melangkahkan kakiku menuju bandara siang itu. Arlojiku sudah menunjukkan pukul setengah 12. Jantungku masih seperti tadi malam. Berdetak tidak karuan, dan serasa ingin berontak keluar.  Temanku, menghantarkan ku sampai ke dapan gerbang bandara yang besar itu.


“sukses yaaaa”. Ucap temanku. 
Aku membalasnya dengan senyuman. Dan ia pun belalu dengan motor yang ia kendarainya. Aku memasuki kawasan bandara dengan sedikit berlari kecil. Ku lirik lagi arloji ku. Pukul 11.40 20 menit lagi menuju pukul 12 tepat. Aku seakan benar benar di permainkan oleh waktu. Aku segera menuju ke terminal domestic arrival. Mataku melihat ke segala penjuru yang ada di terminal itu. Aku mencari sebuah layar monitor. ‘Air asia dari yogyakarta tujuan medan, tiba 12.00 terjadwal’ hatiku berseru membaca tulisan yang ada di monitor itu. Aku menunggu dengan gelisah di bandara siang itu. Aku seperti merasa orang-orang sedang menatap ku dengan aneh. Padahal orang-orang disekitarku, terlihat terlalu sibuk jika ingin memperhatikanku. Mataku berkali kali memastikan papan nama terminal itu adalah benar terminal kedatangan domestik, bukannya non domestik karna tempat itu memang berdekatan.

Aku lirik arloji ku kembali. Kedua jarum panjang dan pendek itu kini sudah berdiri tegak sejajar dan berhimpitan tepat di angka 12. Jantung ku semakin menjadi berdetak. Aku berdiri dibalik tiang cukup besar, dengan kaki yang penuh dengan gemetar. Aku tidak tahu mengapa aku begini gugup. Aku takut bahwa, tujuanku disini hanyalah benar sia-sia. Masih cemas olehku, bahwa bagaimana kalau kau benar tidak akan ada di bandara itu. Kepala ku mendadak pusing.

Satu persatu, orang orang dengan troli troli koper pun keluar dari dalam ruangan berdinding kaca itu. Aku mencari sosok sosok bertubuh besar yang hampir tiap hari hinggap di dalam pikiranku. Aku meraih ponsel, mencoba menghubungimu, namun tidak aktif. Aku masih berdiri gemetar dari balik tiang. Mataku tak lelah memperhatikan siapa saja yang keluar dari pintu terminal itu. Sebisa mungkin aku tak melewatkan satu orangpun. Tapi sosok yang ku kenali tak juga muncul, atau aku yang telah lupa akan sosok mu? Ahh itu pasti mustahil. Harapku kembali buyar. Dan benar sirna ketika dari pintu itu sudah terlihat sepi dan tak ada lagi orang orang yang keluar dengan membawa koper selain petugas petugas bandara yang memakai seragam biru. Rasanya aku ingin menangis, aku coba lagi menghubungi ponselmu, namun tetap nihil. Dan akhirnya aku memutuskan untuk melangkah pergi dari tempat yang telah berubah menjadi neraka itu. Dan ketika aku melangkah, ponselku kembali berdering, dan aku tak mengenal nomer yang tertera di layarnya.

(ditelfon)
Aku                       : ya hallo?
Penelpon             : hallo.. ini aku. Kamu dimana?
(aku terdiam sejenak, yaaa aku kenal suara ini. Ini suara Bintang)
Aku                      : ini kamu?? Beneran kamu??
Dia                     : iya ini aku. Kamu dimana? Cepat kesini aku di jalan juanda. Aku menelfon dari                                   telpon umum. Ponselku mati.
Aku                     : aku di bandara. Kamu jalan juanda mana?? Kamu beneran pulang kan??
Dia                   : iya aku pulang. Aku udah di medan. Aku di jalan juanda. Udah kamu cepat kesini,                               aku tunggu lima menit. Aku sudah lapar.

Kembali kau memutuskan pembicaraan sepihak. Kau selalu seperti ini. Selalu membuatku dihujani tanya dan penasaran. Akupun bergegas ke arah jalan yang kau maksud. Di halaman bandara aku masih sempat berfikir, antara menempuhnya dengan berjalan kaki atau naik ojek? Kalau menempuhnya dengan berjalan, itu akan memakan waktu sekitar 15-20 menit. Ahh sudahlah aku pilih naik ojek saja. Entah mengapa 15 menit saat itu rasaku seperti waktu yang bertahun.

Aku menghampiri tukang ojek, memintaku untuk menghantarkanku ke daerah yang ku maksud. Pikiranku hanya berpusat padamu saja, hingga ketika tukang ojek meminta tarif 15ribu, aku tetap mengangguk iyakan. Padahal tarif normalnya adalah 5ribu rupiah. Aku rugi 10ribu.

Dari jauh aku melihat, tepat di jembatan, seorang lelaki bertubuh besar berdiri menungguku di sisinya. Menggunakan lengan panjang bergaris biru dan putih, memakai celana pendek selutut, dan menyandang sebuah ransel besar. Aku mengahampirimu, kau pun tersenyum. Ku perhatikan tiap centi wajahmu, tak ada yang berubah masih seperti dulu. Hanya saja rambutmu terlihat lebih gondrong dan berantakan sedikit. Kau membentangkan tangan agar aku memelukmu. Tapi aku malah memilih menimpuk kepalamu dengan tas yang ku pegang. Kau pun tertawa geli. Bagiku kau lebih pantas mendapatkan itu setelah berhasil membuatku hampir gila semalaman.

Tak jauh dari tepat kita bertemu, ada warung bakso kecil. Aku menemanimu makan siang. Aku masih tetap terus memperhatikan wajahmu. Wajah yang telah aku tunggu berbulan bulan lalu rupanya. Kita bercerita banyak. Tertawa dan melepaskan satu persatu rindu yang sudah mulai usang. Dan tak lama kemudian, temanku yang juga merupakan temanmu tiba di warung kecil itu. Disitulah aku tahu, bahwa memang akulah lagi lagi yang menjadi korban keisenganmu kali ini. Mereka sudah tahu kau akan pulang, hanya saja memang pura pura seolah olah tidak tau, dan membiarkan aku merasa memang akulah satu satunya yang tahu bahwa kau akan pulang. Dan membuatku merasa bingung sendiri beberapa hari lalu. Tapi itu tak penting lagi, yang penting sekarang kau sudah berada tepat di hadapanku. Jarak itu sudah berhasil ku kalahkan.

Tapi, tak semua mimpi sepenuhnya dapat menjadi nyata. 4hari setelah tanggal 27 itu, kita memilih berpisah. Bukan berpisah atau di pisahkan oleh jarak, tapi berpisah dalam arti tak lagi merajut kasih. Kali ini bukan jarak lagi musuhku. Tapi ego ku, ego mu, dan ego kita sendiri.

--FIN--
27 juli 2011- warung bakso amad, juanda.
Kencan pertama, dan terakhir.





Jumat, 26 September 2014

Parade Perahu Kertas


Aku mengambil secarik kertas berwarna merah muda.
Aku goreskan dengan pena berwarna ungu.
Aku menulis harapan dan pesan rindu di salah satu sisinya. Untukmu pasti.
Kemudian aku lipat.
Aku lipat kesana kemari sisi-sisinya.
Kini terbentuk sebuah perahu mungil.
Perahu kertasku yang mungil nan cantik. Ku mantrai dengan segenap kata rindu.

Ku bawa perahu kertas itu ke dermaga.
Dihadapanku kini ada laut yang luas nan terbentang.
Ku layarkan perahu kertasku dengan mantap, ku biarkan ia menari bersama ombak.
Biarlah perahu kertasku melaju, ku lepaskan dengan senang hati.
Menjauh sampai ke sebrang sana. Semoga sampai ke dermagamu.

Tapi aku lupa.
Itu perahu kertas.
Ia tidak kokoh terhadap air.
Di tengah laut sisinya mulai merapuh.
Mungkin perahu kertasku lelah menari bersama ombak, atau ombak yang terlalu kuat menghantamnya.
Harap dan rindu yang ku titipkan juga ikut merapuh.
Kasihan perahu kertasku. Perlahan-lahan ia tenggelam di deru ombak, ditemani rindu yang tadi ku titipkan.

Perahu kertas dan harapanku kini tak akan pernah sampai ke dermagamu.


23 Desember 2012

Kamis, 25 September 2014

Fav #01 Tidak Dicintaimu - ZH

Karena aku sudah terlanjur mencintaimu
Seperti rahim yang tak mungkin menelan lagi anaknya
Sekali-pun laba- laba telah membangun sarangnya dalam hatimu
Sesungguhnya aku tidak ingin keluar.
Atau biarlah di dalamnya aku di sekap
Dengan nafas yang terengah- engah
Teriring isak yang tersandung- sandung di tenggorokan
Inilah aku yang betapa ingin membangkitkanmu yang tergeletak
Mungkin ini garis terberat aku mencintaimu
Ada baiknya aku memohon ampun
Mengakui kelemahan
Menjunjung tinggi belas kasihan
Dan tak lupa berterima kasih
Aku tidak ingin hanya sekedar ada
Tapi siap dan lagi bisa
Bila lengah mata melihat
Atau lelah pundah memikul
Ketahuilah, langkahku tetaplah engkau
Aku ingin terlempar untuk membentur bola matamu
Lalu menggelinding di atas setiap esokmu
Bagiku, wajah yang di pukul kelak masih lebih ringan
Daripada tidak di peluk kamu di saat- saat seperti ini
Karena tidak di cintaimu adalah sesuatu yang baru
Yang membuatku merasa asing di antara segala hati yang membuka pintunya kepadaku
Di dalam tubuhku
Di dalam hidupku
Kaulah darahku
Alasan degup jantungku
Kini aku merasa bahwa hatimu telah menelanku hidup- hidup
Ataukah aku melantur?
Tidak… Aku hanya takut menjadi bangkai dalam hatimu
Itu saja



Puisi karya ... Zarry Hendrik

Bercerita kepada angin.

Aku pernah bercerita kepada angin, bercerita tentangmu sedikit.

Hari itu angin melihatku, terduduk dalam lamunan, diam dan tenang di sofa teras rumah. Dengan lembut ia menghampiriku, lalu ia berbisik merdu ditelingaku,

“wahai nona, apa yang sedang kau pikirkan??”

“selalu sama, setiap detik, hanya dirinya.”
Aku tersenyum.

            mengapa dirinya?”

“entahlah, aku tidak pernah tahu. Aku tidak pernah meminta. Dia mungkin juga tidak. Mungkin ini rindu yang sering mereka bicarakan namanya.”
           
“kalau kau rindu, kenapa kau tidak menghampirinya saja.”

“wahai angin, kau tau? Aku amat iri kepadamu saat ini. Kau dapat dengan mudah terhembus ke tempatnya kini berada selama kau mau. Kami memang masih dalam satu bumi yang sama. Langit kami juga masih sama. Hanya saja aku berada di bagian bumi jauh lebih barat darinya. Kami terpisah oleh lautan.”

Angin semakin dekat menghembuskan dirinya untuk membelai tekuk ku. Rambutku melambai seperti ombak.

“siapakah dia, seperti apa rupanya?? Jelaskan kepadaku.”

Lantas, aku menjawab…
“aku tak tau pasti dan tak benar benar ingat dengan jelas setiap centi kulit epidermis di wajahnya. Yang aku ingat, dia memiliki sepasang mata. Bulat, hitam bersinar. Bola matanya hitam legam. Jauh didalamnya ada palung yang sangat dalam, dan aku rela jatuh kedalam tiap kali menatap matanya. Dan mata itu terkadang tidak terlihat bulat lagi, ada kalanya disaat dia tersenyum atau tertawa, bulat itu berubah menjadi selengkung garis yang manis. Bulat itu terlihat sipit, dimana di ujungnya ada kerutan kebahagiaan tiada tara ketika aku menatapnya.”

Aku berhenti sejenak, ku rapatkan tubuh ini dengan dengkulku. Rasanya angin mulai duduk didekatku, mendengarkan kata demi kata yang aku uraikan.

“lalu ia mempunyai hidung mancung dan bangir. Hidung itu mengeluarkan nafas yang setiap kali aku harapkan nafas itu hanyalah untuk ku, setelah untuk Tuhan nya. Ia juga memiliki bibir. Hanya bibir biasa. Namun dari bibir ini, terdengar suara yang hampir tiap saat selalu ingin ku dengar bisikannya. Dan terkadang dari bibir itu terlontar kata kata yang dapat membuatku lupa bahwa aku manusia yang tidak dapat terbang. Bibir yang dengan sentuhannya mampu membuat jantungku enggan berdetak, dan berharap waktu dapat berhenti sejenak”.

Angin seperti ikut tersenyum malu mendengarnya, dengan lembut hembusannya menerbangkan kembali rambutku seolah-olah sedang menggodaku. Lalu ia berbisik kembali,
           
“sepertinya ia sangat istimewa dan hangat. Bisa kah kau menjelaskan lebih detail sosoknya nona?? Aku ingin menghampirinya esok untuk menggodanya”.

Pipiku merona merah jambu. Ku selipkan rambutku di balik telinga. Sembari semakin medekap tubuhku sendiri.

“Kau benar... dia memang amat istimewa tapi jangan kau goda dirinya. Cukup temani dia saja. Temani dirinya dikala sore senja, temani ia seperti kau menemaniku kini, serta bisikkan dengan lembut di telinganya aku disini baik baik saja menantinya. Belai tekuknya dengan lembut, selembut rindunya membungkus tubuhku saat ini.”
           

“baiklah nona akan aku pertimbangkan, ayo ceritakan lagi kepadaku tentang dirinya. Aku ingin mendengar lebih banyak.”

Akupun bercerita kembali,
“tubuhnya besar dan tegas. Berada di dekatnya, aku merasa berada di pelukan ayah. Nyaman dan hangat. Bagiku, aroma ketenangan nomer dua adalah aroma tubuhnya selain aroma tubuh ibuku. Jari-jemari dan telapak tangannya, sepertinya lembut dan juga hangat. Entahlah aku belum pernah di genggamnya. Hanya saja aku pernah sedikit menyetuhnya. Mungkin aku akan digenggamnya nanti, di ribuan detik akan datang ketika tepat masanya, setelah dia telah mantab mengikrarkan janji di jari manis tanganku. Ia juga mempunyai sepasang kaki. Kaki dan langkahnya yang ingin selalu aku ikuti. Kaki dan langkahnya yang aku yakini dapat membimbingku lebih mengenal indahnya anugrah Tuhan. Langkah kaki, yang aku yakin ia dapat menunjukkan aku surga dunia serta surga akhirat kelak.”

Aku diam sejenak. Mataku menerawang jauh kedepan. Perlahan seperti melihat bayanganmu tersenyum. Angin juga tidak bersuara lagi. Dia juga tidak membelai rambutku. Mungkin angin sudah pergi. Mungkin angin bosan mendengarkan alunan rinduku.

“wahai angin, masih kah kau disini menemaniku?”
           
“ya. Aku tepat berada di sela sela nafasmu nona. Aku masih disini.”

lantas, mengapa kau diam?”
           
“aku bukan diam, aku hanya tidak ingin membuatmu semakin berselimut rindu oleh hembusan ku, nona.”

Aku tertegun. Ku lepaskan lututku dalam dekapan. Ku silangkan dengan hangat tanganku di dada. Ku sadarkan perlahan tubuhku di dinding sofa. Aku menghela nafas sedikit sembari menghirup kembali aroma aroma hembusan lembut angin yang menemaniku sore ini.

“kau tak perlu merasa sungkan. Ini bukan rindu yang menyayat hati. Bukan pula rindu yang tak bertuan. Kau tau persis rinduku untuk dirinya. Jika kau tak keberatan, hampirilah dirinya disana. Sampaikan selimut rinduku ini kepadanya. Hangati dirinya. Katakan padanya untuk segera menuju rumahnya, yaitu aku.”

Angin tak bersuara lagi, ia hanya membelai tekuk ku. Kali ini tidak dingin. Melainkan hangat. Rambutku kembali terayun ayun bagai ombak. Mungkin angin ini sedang menuju mu. Angin yang mungkin akan menemanimu esok hari. Sumpah aku benar benar iri.

--FIN—

Medan, 23 September 2012