Juli, 2011 . . .
Ada satu tanggal yang aku lingkari dengan spidol
merah. Tepat di angka 27. Tanggal yang membuat aku menduga-duga penuh harap. Tanggal yang aku hiasi dengan berbagai
untaian kata. Tanggal dari segala penjawab doa. Tanggal yang untukmu tentunya
orang yang paling aku nantikan kedatangannya. Kedatangan bintang paling terang
yang pernah ada.
Masih jelas ku ingat, hari itu, ada sesuatu yang
membuatku seakan ingin terbang lagi. Sesuatu yang membangkitkan rasa bahagia
yang telah hampir mati. Sesuatu yang sedikit jelas membuat aku ingin tampil
menjadi cantik kembali. Sesuatu yang membuat penantian terlihat jelas setelah 5
bulan yang tenggelam oleh rindu yang sudah mulai penuh debu.
(Ditelfon)
Aku :
yaa…hallo
Dia : Haii… Udah lama nggak kita nggak
ngobrol
Aku : iya.
Ehh udah liburkan ? nggak pulang ?
Dia : kayaknya nggak. Kenapa ?
Aku :
yaaah… serius ?
Dia : kenapa sedih yaaa??
Aku : haa? Nggak, siapa yg sedih.
Dia : hahahhaha Iya aku pulang tanggal 27. kamu
yang jemput yaa.
Aku : haa? Aku yang jemput ?? naik apa ?? (aku
panik, karna saat itu aku sama sekali gak
punya kendaraan, selain motor butut yang plat nya udah mati setahun)
Dia : yaaa naik angkotlah, emang di sana
uda nggak ada angkot sekarang yaa?
Aku : ada sih, tapi gak apa itu aku jemput
naik angkot. Yodah jam berapa itu nyampek disininya?
Dia : ya gak apalah. Malah romantis kita
naik angkot bareng bareng. Hahhaha
(dia membuat wajahku seperti tomat)
kira-kira
aku nyampek disana jam 12. Tapi jangan bilang ke siapa siapa aku mau pulang
ya !!! sama temen temen ku, termasuk juga adek ku. Bilang aja aku enggak
jadi
pulang, aku pendakian ke
rinjani. Aku mau bikin surprise ke mereka.
Aku : oh iya iya oke oke. Yodah berarti cuma
aku aja nih yang tau kamu mau pulang.
Dia : iya cuma kamu aja, yodah inget yaa
ini rahasia. Yaudah nanti aku kabari lagi. Daaah
Senyap kembali terdengar. Aku terdiam sejenak.
Senyumku kembali terkembang. Aku menarik nafas dan kau membuat sejuta khayalan mulai
muncul dibenak ku. Kau memimpin ku lagi untuk merangkum sejuta mimpi indah. Dan
bahkan kau membuatku gelisah hingga sulit memejamkan mata. Aku merasakan hawa
malam mulai menggodaku malu. Di sela sela selimut senyumku masih terkembang,
rasanya enggan untuk pergi. “ingat, hanya
kamu yang tau aku akan pulang” kata-katamu ini sekejap membiusku untuk merubahku
menjadi pembohong didepan mereka, temanku dan temanmu.
Dikampus, tanya seorang teman…
Teman : aku dengar kabar kurang baik, atau kamu udah
denger kabarnya? Apa itu benar?
Aku : iya, aku udah tau. Iya dia enggak
pulang. dia pergi ke rinjani (wajahku datar)
Teman : jadi itu benar? ya udahlah, kan udah aku
bilang, lupakan saja, gak usah di
tunggu –tunggu kepastiannya,
kalian tetap terpisah jarak. Bersabarlah. Tuhan pasti
mengirimkanmu sosok
yang jauh lebih baik. Jangan sedih yaaa.
Tangannya menyentuh pundakku lembut, memberikan
sentuhan hangat yang tenang agar aku tidak tenggelam dalam jurang duri. Tapi
dalam hati aku berdusta kepadanya, dalam hati aku sumringah, aku tertawa geli,
aku merasa aku telah berhasil membuatnya percaya bahwa kau memang tidak akan
datang lagi padaku. Aku merasa akulah aktris terhebat dibumi saat ini. Dan lagi
lagi ku lakukan hanya karna mu….
Detik waktu tak mau menunggu, ia terus memburuku
perlahan. Semakin lama detik itu maju menjadi hari. Hingga tiba pada hari aku
merasa mulai kacau. Perlahan aku menjadi ragu, takut, resah menjadi satu. Aku
takut kau yang berdusta, sementara hatiku telah menaruh banyak harap dan
impian, serta tanganku sudah tak sabar ingin mendekap hangat tubuhmu kembali.
(Di Twitter)
@Rendi: @bintang
eh, kapan pulang ? aku denger hari rabu
ini pulang yaa? Udah kangen aku pengen
berantem samamu. Hahhaha
@bintang: @Rendi
sori, aku nggak jadi pulang. Aku ada pendakian ke rinjani. Jadi ongkos pulangnya
udah aku pake buat pendakian. Mungkin lain kali hehehehe
Aku kembali sulit terpejam. Berjuta tanya hinggap di
pikiranku. Benar kau akan kembali? Benarkah hanya aku yang akan menyambut
hangat senyummu ketika kembali? Atau ini hanya gurauan untuk menghibur hatimu?
Ahh tidak, aku tau kau tidak mungkin sekejam itu.
Sampai pada akhirnya otakku beradu dengan sendirinya.
Telfon atau enggak ??
Hingga aku memutuskan untuk ….
(di telfon)
Aku : hallo, kamu belum tidur ??
Dia : belum, lagi main game. Ada apa ?
Aku : nggak apa apa. Main game apa? (basa
basi)
Dia : ntah nih, game apaan aku gak tau.
Oiya jangan lupa hari rabu jemput aku jam 12
dibandara. Masi ingat kan? (yes
!!! kau memulai topiknya duluan)
Aku : iya iya aku inget. Rupanya mereka
memang beneran nggak ada yang tau ya kalo
kamu mau pulang.
Dia : iya memang nggak ada yang tau lah. Kan
aku udah bilang cuma kamu yang tau.
Aku : mmm.. tapi kamu memang beneran pulang
kan??
Dia : iyalah aku pulang. Kenapa? nggak
percaya? Takut aku bohong?
Hahhahha
Aku : Nah itu ngerti. Ya iyalah, aku takut
ntar aku ke bandara nungguin kamu sia-sia belaka,
Kamu emang nggak pulang. Itu ternyata cuma
gurauan.
Dia : enggak, aku beneran pulang kok. Udah
pokoknya jemput aja hari rabu di bandara jam 12.
Ku tutup telepon dengan menghela nafas. Aku diam
sejenak. Ku pandangi layar ponsel seakan aku dapat menembus melihat wajahmu
disana dari tempatku kini. Kata katamu sedikit membuatku tenang. Hingga
akhirnya aku putuskan alunan suaramu yang masih kusimpan ku jadikan penghantar
tidur indah untuk malam ini.
26 juli malam…
Malam ini. Jantungku rasanya ingin melepaskan diri
dari penjara rusuknya. Rasanya ia ingin berlari mengitari kamarku. Puluhan kali
aku menghela nafas mencoba untuk tenang. Besok hari yang paling aku nantikan.
Hari disaat jarak tak lagi jadi penghalang kita. Hari disaat aku dapat
merasakan hangat pelukmu setelah penantian berbulan-bulan. Seharusnya aku
senang bukan? Tapi entah mengapa segenap ragu menghampiri ku. Aku masih takut
kau tidak datang. Aku masih takut bila ternyata aku memang sedang kau hempaskan
perlahan.
Berkali-kali aku melirik layar hitam ponsel yang
tergeletak diatas meja kecil samping tempat tidurku. Sepeka mungkin aku membuka
indra pendengarku untuk menangkap bunyi nada dari benda itu. Berharap kau dari
sana memanggilku dengan lembut. Tapi ternyata masih nihil.
Cemasku belum hilang, sementara aku masih takut untuk
menghampiri suaramu terlebih dahulu.
Entah dari mana gelojak ini datang, tanpa komando aku
mulai membuka lemari, melihat beberapa potongan pakaian, lalu berfikir baju apa
yang akan aku kenakan esok ?? dalam hati aku beseru, “bahwa aku harus tampil sangat cantik esok hari”.
26 juli, 8.00 malam
(ditelpon)
Dia : hallo, kamu dimana?
Aku : dirumah nih, dikamar.
Dia : ooh bagus deh. Kirain lagi diluar. Oiya,
aku lagi di lombok nih. Aku sebenernya emang
nggak pulang. Aku memang ikut
pendakian yang ke rinjani itu. Hehehehe maap ya..
(begitu mendengar ini, rasanya aku ingin mengutuki
diriku sendiri. Darah seperti memuncar dari jantung. Dan aku hanya bisa
menjawab “ooh”)
Aku : oohh
Dia : kamu nggak marah kan?
Aku : nggak (datar)
Dia : kamu nggak nangis kan?
Aku : nggak !!!! (tegas. Hatiku mendadak
menciut!!!! )
Dia : oooh yaudah bagus deh kalau gitu.
Yodah aku cuma mau bilang itu aja. Yaudah kamu
tidurnya jagan malem malem yaa.
Daah…
mulutku terkatup tanpa suara. Telepon pun terputus.
Pandanganku seaakan gelap. Rasanya seperti akan ada lubang gelap yang akan siap
menjeratku. Ku pandangi datar layar ponsel itu lagi. Tanpa aba-aba tanganku
bergerak lincah melihat daftar panggilan masuk. Dengan harap aku memastikan
suara yang baru saja aku dengar bukanlah darimu. Tapi ternyata aku harus harus
lagi mengubur rasa harapku. Nama dan nomernya tepampang jelas dengan lantang
seolah-olah menengaskan, “yaaah memang
akulah yang kau dengar. Aku yang menyuruhmu bermain dengan jarak dan waktu”.
Aku bergerak ke arah kaca, ku pandangi diriku yang
terlihat bodoh. Aku merasa kasihan kepada apa yang kulihat dalam bayangan kaca itu.
Mataku masih sendu, airmata belum mengalir, entahlah bukannya aku tidak sedih,
aku amat sedih, tapi aku tidak bisa dengan mudah menangis. Melalui kaca
kupandangi tiap refleksi yang tertangkap disitu, ku lihat ada beberapa potong
baju terletak di atas tempat tidur. Melihatnya, seakan potongan baju itu,
sedang menggodaku, “kita tidak jadi
bertemu dengannya besok, simpanlah lagi aku di dalam lemarimu, berikut serta
dengan seluruh harapanmu untuk memeluknya hahhahahhahahhaha”
Aku tersenyum lirih, melihat apa yang telah aku
lukiskan di dalam kepalaku beberapa hari ini. Aku tersenyum lirih menahan
sakit, akibat terhempas pelan ke tanah ini. Aku kembali ke tempat tidur, aku
hempaskan kuat, berharap ketika aku hempaskan aku akan merasakan sakit, hingga
aku dapat menangis.
Aku berbaring bersama pakaian pakaian yang sedang
tersenyum geli menggodaku. “Terserah
kalian mau mengasihiku atau merutuki, aku memang bodoh”
Pikiranku menerawang, tapi aku tak tahu pasti apa
yang ku pikirkan. Mendadak hampa. Mendadak kosong. Yang ada hanya aku amat
sangat kasihan terhadap diriku sendiri. Mataku juga masih enggan terpejam. Ku
tatapi langit langit kamar, berusaha dan berharap aku dapat menemukan sesuatu
yang dapat menenangkanku disitu. Atau mungkin aku berharap kau tiba tiba jatuh
dari atas sana terhempas kedalam pelukku.
27 Juli, 2.00 dini hari
Incomming call …..
Aku : hallo….
Dia : hallo, kamu belum tidur??
Aku : belum. Nggak ngantuk.
Dia : enggak ngantuk apa memang enggak bisa
tidur ?? hahhahhahah
Aku : memang belom ngantuk!! (tegasku)
Dia : yaudahlah, aku cuma mau ngingetin
jangan lupa jemput aku di bandara jam 12.
Awas kalau kamu nggak ada.
(mendadak
emosiku meluap mendengar ini)
AKu : kamu sebenernya beneran pulang apa
nggak sih?!!! jangan buat menyumpahi diriku
sendiri dengan bodoh !!!
Dia : hahahhahhahhahhahha. Iya iya aku
beneran pulang. Udah pokoknya besok jemput aja aku di Bandara jam 12 siang. Okee. Yaudah tidur sana. Daaaah…
Belom sempat aku melanjutkan kata, kau memutuskan
telepon secara sepihak.
Jangan bilang aku telah tenang. Justru aku semakin
gusar. Aku semakin bingung. Tapi disela-sela bingung itu aku sempat menyelipkan
senyum haru. Dan harapku kembali muncul. Takut demi takut, sedikit demi sedikit
aku bangun lagi apa yang akan aku dapati besok di dalam otak ku. Ku kutip lagi
yang tadi telah aku hempaskan jatuh. Dan lucunya, sambil membangun kembali
harap untuk bertemu denganmu esok, air mataku malah jatuh.
Sesegukan kecil malah hadir, semakin lama aku makin
tersadar, aku krisis ekspresi. Tak semestinya aku menangis. Harusnya aku senang
sekarang karna kau memang pulang besok. Harusnya aku senang esok kita bisa
saling menatap nyata, tak lagi dalam bayang. Mataku perlahan berhenti
mengalirkan air itu. Tapi ia masih juga belum lelah untuk terpejam. Hingga
mentari menyapa, aku bingung harus seperti apa menyambut matahari ini?
Pikiranku masih bimbang antara benar ke bandara atau tidak?
27 juli, 9.00 pagi
Aku telusuri trotoar jalan dengan pelan menuju
kampus. Aku lirik arlojiku, pukul 9, terbesit dalam hati 3 jam lagi aku akan
bertemu denganmu. Beberapa jam lagi. Aku menoleh kebelakang tepat disebrang
sana, bandara yang telah menanti peraduan kita berdua hari ini. Langkahku
semakin bimbang, jalanan menuju bandara ini mungkin sedang aku punggungi karna
letak kampus dan bandara hanya bersebrangan terpisah oleh lampu yang sedang
menyala merah itu. Dan kembali aku melirik arloji, semakin lama ku perhatikan
detik jam itu berputar, kepalaku semakin tidak karuan. Muncul berbagai
pertanyaan yang aku tak tau kepada siapa aku dapat menemukan jawabannya. Mungkinkah
aku nanti akan melangkah kesana ? Nantilah sebaiknya aku menuntaskan tugasku
sebagai mahasiswa sampai pukul setengah 12 nanti.
Aku sampai di ruangan yang tak cukup besar dan tak cukup
kecil. Berderet barisan bangku-bangku kayu memenuhi ruangan itu. Senyap dan
tenang. Hanya suara dari dosen yang terdengar. Dan suara itu tak sepenuhnya
tersimpan di otak ku. Hanya sesekali terdengar. Aku sendiri lebih memilih asik
berkutat dengan ponsel secara sembunyi sembunyi daripada mendengarkan dosen
yang menyampaikan materi. Aku menelusuri satu persatu halaman web yang dapat
memberitahuku jadwal penerbangan hari ini. Tapi tetap nihil, sinyal sepertinya
sedang ikut mempermainkan rasa penasaranku. Aku masih berpusat kepada layar
kecil itu dengan penuh harap. Sampai sebuah tepukan mendarat di bahu, yang
berhasil membuat aku tersentak kaget.
“ngapain aja
sih? Di liatin dosen tuh daritadi.” suara itu terdengar dari arah bangku
belakang.
Aku tidak menjawab, aku hanya menoleh sedikit ke
belakang dengan mulut tetap terkatup. Aku menunduk sebentar. Aku simpan
ponselku. Mungkin kamu butuh saran,
ceritakanlah. Satu orang yang tahu itu bukan masalah yang besar bukan? Aku
mendengar bahwa otak ku bergumam dengan sendirinya.
aku ambil secarik kertas, dan mulai menuliskan
sesuatu…
aku butuh saran. Aku bakal cerita tapi cukup kamu aja yang
tau. Bisa?
Aku mengarahkan kertas itu ke arah belakang. 5 menit
kemudian, kertas kecil itu kembali.
Iya, ada apa? Ceritakanlah
Aku menulisnya lagi,
Sebenernya bintang pulang, hari ini. Jam 12 siang nanti. Dia
bilang, hanya aku yang boleh tahu. Maaf aku sempat bohong. Aku disuruhnya menjemput.
Tapi sekarang aku ragu, aku takut, aku takut ternyata dia memang bohong. Karena dia tadi malem, bilang gak
jadi pulang, tapi beberapa jam kemudian dia ngomong lagi, kalau memang pulang.
Aku bingung. Menurutmu, aku tetap ke bandara siang nanti?
Aku arahkan lagi kertas itu kebelakang.
Hahahhaha,
pantes mukamu, kusut gitu. Serius bintang beneran pulang? Yaudah dateng aja.
Aku yakin dia gak mungkin seiseng itu. Aku yakin dia emang beneran pulang.
Kalau gitu, kamu temenin aku ke bandara ya??
Aduuuh,
aku gak bisa kalau nemenin. Aku ada janji sama temen. Aku anterin aja yaaa.
Lagian dianya kan nyuruh kamu jemput sendirian.
Setelah berjam-jam lebih aku berperang sendiri dengan
otakku. Akhirnya aku yakin untuk tetap melangkahkan kakiku menuju bandara siang
itu. Arlojiku sudah menunjukkan pukul setengah 12. Jantungku masih seperti tadi
malam. Berdetak tidak karuan, dan serasa ingin berontak keluar. Temanku, menghantarkan ku sampai ke dapan
gerbang bandara yang besar itu.
“sukses yaaaa”. Ucap temanku.
Aku
membalasnya dengan senyuman. Dan ia pun belalu dengan motor yang ia
kendarainya. Aku memasuki kawasan bandara dengan sedikit berlari kecil. Ku
lirik lagi arloji ku. Pukul 11.40 20 menit lagi menuju pukul 12 tepat. Aku
seakan benar benar di permainkan oleh waktu. Aku segera menuju ke terminal domestic
arrival. Mataku melihat ke segala penjuru yang ada di terminal itu. Aku mencari
sebuah layar monitor. ‘Air asia dari yogyakarta
tujuan medan, tiba 12.00 terjadwal’ hatiku berseru membaca tulisan yang ada
di monitor itu. Aku menunggu dengan gelisah di bandara siang itu. Aku seperti merasa
orang-orang sedang menatap ku dengan aneh. Padahal orang-orang disekitarku,
terlihat terlalu sibuk jika ingin memperhatikanku. Mataku berkali kali
memastikan papan nama terminal itu adalah benar terminal kedatangan domestik,
bukannya non domestik karna tempat itu memang berdekatan.
Aku lirik arloji ku kembali. Kedua jarum panjang dan
pendek itu kini sudah berdiri tegak sejajar dan berhimpitan tepat di angka 12.
Jantung ku semakin menjadi berdetak. Aku berdiri dibalik tiang cukup besar,
dengan kaki yang penuh dengan gemetar. Aku tidak tahu mengapa aku begini gugup.
Aku takut bahwa, tujuanku disini hanyalah benar sia-sia. Masih cemas olehku,
bahwa bagaimana kalau kau benar tidak akan ada di bandara itu. Kepala ku
mendadak pusing.
Satu persatu, orang orang dengan
troli troli koper pun keluar dari dalam ruangan berdinding kaca itu. Aku
mencari sosok sosok bertubuh besar yang hampir tiap hari hinggap di dalam
pikiranku. Aku meraih ponsel, mencoba menghubungimu, namun tidak aktif. Aku
masih berdiri gemetar dari balik tiang. Mataku tak lelah memperhatikan siapa
saja yang keluar dari pintu terminal itu. Sebisa mungkin aku tak melewatkan
satu orangpun. Tapi sosok yang ku kenali tak juga muncul, atau aku yang telah
lupa akan sosok mu? Ahh itu pasti mustahil. Harapku kembali buyar. Dan benar
sirna ketika dari pintu itu sudah terlihat sepi dan tak ada lagi orang orang
yang keluar dengan membawa koper selain petugas petugas bandara yang memakai
seragam biru. Rasanya aku ingin menangis, aku coba lagi menghubungi ponselmu,
namun tetap nihil. Dan akhirnya aku memutuskan untuk melangkah pergi dari
tempat yang telah berubah menjadi neraka itu. Dan ketika aku melangkah,
ponselku kembali berdering, dan aku tak mengenal nomer yang tertera di
layarnya.
(ditelfon)
Aku :
ya hallo?
Penelpon : hallo.. ini aku. Kamu dimana?
(aku
terdiam sejenak, yaaa aku kenal suara ini. Ini suara Bintang)
Aku : ini kamu?? Beneran
kamu??
Dia : iya ini aku. Kamu
dimana? Cepat kesini aku di jalan juanda. Aku menelfon dari telpon umum. Ponselku mati.
Aku : aku di bandara. Kamu
jalan juanda mana?? Kamu beneran pulang kan??
Dia : iya aku pulang. Aku
udah di medan. Aku di jalan juanda. Udah kamu cepat kesini, aku tunggu lima menit. Aku sudah lapar.
Kembali kau memutuskan pembicaraan sepihak. Kau
selalu seperti ini. Selalu membuatku dihujani tanya dan penasaran. Akupun
bergegas ke arah jalan yang kau maksud. Di halaman bandara aku masih sempat
berfikir, antara menempuhnya dengan berjalan kaki atau naik ojek? Kalau
menempuhnya dengan berjalan, itu akan memakan waktu sekitar 15-20 menit. Ahh
sudahlah aku pilih naik ojek saja. Entah mengapa 15 menit saat itu rasaku
seperti waktu yang bertahun.
Aku menghampiri tukang ojek, memintaku untuk
menghantarkanku ke daerah yang ku maksud. Pikiranku hanya berpusat padamu saja,
hingga ketika tukang ojek meminta tarif 15ribu, aku tetap mengangguk iyakan.
Padahal tarif normalnya adalah 5ribu rupiah. Aku rugi 10ribu.
Dari jauh aku melihat, tepat di jembatan, seorang
lelaki bertubuh besar berdiri menungguku di sisinya. Menggunakan lengan panjang
bergaris biru dan putih, memakai celana pendek selutut, dan menyandang sebuah
ransel besar. Aku mengahampirimu, kau pun tersenyum. Ku perhatikan tiap centi
wajahmu, tak ada yang berubah masih seperti dulu. Hanya saja rambutmu terlihat
lebih gondrong dan berantakan sedikit. Kau membentangkan tangan agar aku
memelukmu. Tapi aku malah memilih menimpuk kepalamu dengan tas yang ku pegang.
Kau pun tertawa geli. Bagiku kau lebih pantas mendapatkan itu setelah berhasil
membuatku hampir gila semalaman.
Tak jauh dari tepat kita bertemu, ada warung bakso
kecil. Aku menemanimu makan siang. Aku masih tetap terus memperhatikan wajahmu.
Wajah yang telah aku tunggu berbulan bulan lalu rupanya. Kita bercerita banyak.
Tertawa dan melepaskan satu persatu rindu yang sudah mulai usang. Dan tak lama
kemudian, temanku yang juga merupakan temanmu tiba di warung kecil itu.
Disitulah aku tahu, bahwa memang akulah lagi lagi yang menjadi korban
keisenganmu kali ini. Mereka sudah tahu kau akan pulang, hanya saja memang pura
pura seolah olah tidak tau, dan membiarkan aku merasa memang akulah satu
satunya yang tahu bahwa kau akan pulang. Dan membuatku merasa bingung sendiri
beberapa hari lalu. Tapi itu tak penting lagi, yang penting sekarang kau sudah
berada tepat di hadapanku. Jarak itu sudah berhasil ku kalahkan.
Tapi, tak semua mimpi sepenuhnya dapat menjadi nyata.
4hari setelah tanggal 27 itu, kita memilih berpisah. Bukan berpisah atau di
pisahkan oleh jarak, tapi berpisah dalam arti tak lagi merajut kasih. Kali ini
bukan jarak lagi musuhku. Tapi ego ku, ego mu, dan ego kita sendiri.
--FIN--
27 juli
2011- warung bakso amad, juanda.
Kencan pertama,
dan terakhir.